Sabtu, 27 Desember 2008

AIDS/HIV

disusun oleh
Muhammad Akbar


Sampai dengan detik ini HIV/AIDS masih menjadi pusat keprihatinan masyarakat se dunia, terkait dengan belum ditemukannya vaksin yang benar-benar efektif mencegah HIV. Obat yang saat ini tersedia juga masih bersifat kontroversial di dalam proses penyembuhannya. Selain itu harga antiretroviral masih cukup mahal, meskipun di sana sini sudah banyak para pemerhati yang bersedia memberikan bantuan yang bersifat karitatif kepada para penyandang HIV/AIDS. Sementara itu, pengobatan dengan antriretroviral juga bukan tanpa dampak. Data Departemen Kesehatan menyebutkan hingga akhir September 2006, dilaporkan sebanyak 6.987 orang penderita AIDS. Dari jumlah itu, 1.651 orang atau 23,63% meninggal dunia (Anonim dalam Kompas November, 2007). Kemudian sebuah hasil penelitian terkini menunjukkan adanya penyakit kejiwaan pada Odha meliputi Odha yang mempunyai gambaran diri negative, Odha kecemasan dan Odha yang mengalami depresi. Prevalensi kecemasan pada kelompok orang HIV-positif berkisar kurang lebih 25% sampai 40%. Gangguan kecemasan mencakup gangguan penyesuaian yang ringan, gangguan panik, fobia, obsessive-compulsive, stres setelah trauma, penyakit stres yang akut, dan kegelisahan yang menyeluruh (David, 2002). Adapun prevalensi Odha yang mengalami depresi belum diketahui secara pasti karena belum pernah dilakukan penelitiannya, namun kasus depresi pada Odha ini diperkirakan memiliki frekuensi mencapai 60 % dari total kasus depresi yang ada (David dan Brian, 2002). Penelitian mengenai gambaran diri yang pernah dilakukan pada Odha tidak menyebutkan angka prevalensi, hanya disampaikan bahwa beberapa Odha mempunyai gambaran diri positif, sedangkan sebagian lainnya memiliki gambaran diri yang negatif (Maharani, 2004).

Sampai dengan memasuki awal tahun 2008, jumlah pasien HIV yang dirawat di beberapa lokasi rumah sakit dan puskesmas di sebagian besar propinsi-propinsi di Indonesia mengalami peningkatan, namun jumlah pasti peningkatan tersebut belum bisa diketahui. Selain itu penelitian-penelitian yang dilakukan setelah tahun 2002 belum ada yang menyebutkan mengenai prevalensi Odha yang mengalami penyakit kejiwaan. Akan tetapi diperkirakan bahwa sebagian besar pasien telah melakukan kunjungan ke klinik ”Voluntary Counseling and Testing” (VCT), yaitu klinik Testing dan Konseling Sukarela bagi para pengidap HIV/AIDS. VCT tersebut mempunyai tujuan memberikan konseling bagi para pengidap HIV/AIDS terkait dengan kesiapan mental dan kejiwaan mereka serta untuk menekan depresi di kalangan Odha (Suharmansyah, 2008).


2.2. Gambaran Diri

Sebagian besar kasus ODHA menghadapi problema rendah diri atau mempunyai gambaran diri yang negatif. Apalagi pada saat pertama kali divonis terinfeksi HIV, maka ODHA memiliki kesulitan untuk menerima dirinya. ODHA menjadi merasa lemah serta pesimis terhadap masalah yang akan menimpa dirinya di kelak kemudian hari. ODHA juga sering takut terhadap masalah yang akan menimpa diri keluarganya. Masalah ekonomi juga sering menambah rasa takut bagi ODHA. ODHA cemas mengenai bagaimana cara bias menghidupi keluarga sedangkan dirinya harus membayar biaya pengobatan dan perawatan bagi dirinya. Bagi ODHA yang belum berkeluarga juga selalu merasa takut akan menghabiskan uang orang tuanya untuk biaya pengobatan (Granich dan Mermin, 2003).

Sebagian besar kasus ODHA menghadapi problema rendah diri atau mempunyai gambaran diri yang negatif. Apalagi pada saat pertama kali divonis terinfeksi HIV, maka ODHA memiliki kesulitan untuk menerima dirinya. ODHA menjadi merasa lemah serta pesimis terhadap masalah yang akan menimpa dirinya di kelak kemudian hari. ODHA juga sering takut terhadap masalah yang akan menimpa diri keluarganya. Masalah ekonomi juga sering menambah rasa takut bagi ODHA.Akan tetapi beberapa ODHA juga mempunyai kegiatan yang sifatnya pengalihan dari rasa tertekan dengan cara berusaha menjadi pahlawan bagi masyarakat lainnya supaya terhindar dari HIV/AIDS. Banyak ODHA yang tergabung di dalam aktivitas pemberantasan dan pencegahan AIDS, baik dengan cara bergerak secara individual maupun masuk ke lembaga-lembaga pencegahan AIDS (Stuart dan Sundeen, 1995).

Gambaran diri sebenarnya merupakan gambaran terhadap diri sendiri atau pikiran tentang pandangan orang lain terhadap diri kita. Gambaran ini terbentuk bertahun-tahun selama manusia hidup. Meskipun demikian, hal ini dapat diubah dan diganti sehingga individu mempunyai citra diri yang diinginkan. Nilai diri berkaitan erat dengan cara pandang terhadap diri sendiri dan bagaimana cara pikir diri mengenai penilaian orang lain terhadap diri kita. Kadang kita terlalu terpaku pada pendapat umum. Misalnya pendapat bahwa anak yang patut dibanggakan adalah anak yang mempunyai prestasi belajar di bidang akademis, padahal prestasi dapat diperoleh dari bidang-bidang lainnya; seperti seni atau olahraga. Contoh lainnya adalah pendapat bahwa orang lain akan menghargai jika kita diri kita mempunyai bentuk fisik yang sempurna. Sehingga orang yang mempunyai bentuk badan yang tidak ideal, bentuk muka yang kurang indah, atau kurang berhasil dalam pelajaran dalam studinya tidak perlu dihargai (Granich dan Mermin, 2003).

Gambaran diri yang negatif adalah cara memandang diri sendiri sangat buruk. Individu tersebut memikirkan dirinya tidak mempunyai sisi baik. Dirinya mempunyai bentuk fisik yang tidak sempurna, hidupnya tidak memberikan manfaat baik bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri, dirinya adalah makhluk yang gagal dan semua hal yang buruk melekat di dalam dirinya. Seseorang yang memiliki gambaran diri negative akan selalu merasa tidak puas terhadap dirinya, dihinggapi kecemasan, rendah diri serta selalu bersikap pesimis (Granich dan Mermin, 2003). Gambaran diri yang negatif mengakibatkan diri menjadi takut untuk mencoba sesuatu sehingga kreativitas tidak berkembang. Jika hal ini terjadi terus-menerus, bisa jadi diri kita menjadi orang yang paling tidak bahagia karena tidak mempunyai harapan, tidak mempunyai tujuan, dan merasa hidup ini sia-sia serta tidak memberikan hasil apa pun. Dan hal ini akan menimbulkan penyakit psikologis yang lebih parah seperti kecemasan dan depresi (Helfy, 1996).

Gambaran diri positif dapat memberikan kekuatan bagi pribadi yang bersangkutan. Seseorang yang memiliki gambaran diri positif adalah seseorang yang selalu mampu melihat kelebihan dari pribadinya. Dia tahu bahwa setiap orang memiliki kelemahan, namun orang dengan gambaran diri positif mampu melupakan kelemahan dirinya dan berusaha untuk selalu melihat kelebihan dirinya. Contoh orang yang mempunyai gambaran diri positif adalah, seseorang tahu bahwa dirinya mempunyai kecakapan tertentu, dirinya pasti mampu meraih sukses, dirinya menyenangkan bagi kehidupan sekeliling, dirinya punya bayak kelebihan yang mampu menutupi kekurangannya. Orang dengan gambaran diri yang positif akan selalu optimis di dalam memandang hidup (Helfy, 1996).


2.3. Penyakit Kecemasan

Kelainan jiwa yang sering terjadi pada ODHA disebabkan oleh beberapa hal. Pasien sering kali merasa cemas saat menjadi sakit dan menemui dokter. Juga umum bagi dokter mengamati pasiennya gelisah dan mengartikan perilaku, keadaan, atau keluhan pasien (seperti insomnia atau sulit tidur) sebagai tanda-tanda kecemasan. Tentu saja, kecemasan adalah bagian dari penyakit medis dan biasanya menyertai suatu tahapan yang dimulai dari gejala yang tidak mengganggu sampai gangguan perilaku dan penyakit pikiran yang bermakna. Walaupun sebagian orang mungkin mengalami kecemasan subsindrom, penelitian menunjukkan prevalensi kecemasan pada kelompok orang HIV-positif berkisar kurang lebih 25% sampai 40%. Gangguan kecemasan mencakup gangguan penyesuaian yang ringan, gangguan panik, fobia, obsessive-compulsive, stres setelah trauma, penyakit stres yang akut, dan kegelisahan yang menyeluruh. Jika pasien mengalami kriteria tersebut, atau dokter umum mencurigai, salah satu penyakit ini, rujukan pada psikiatri merupakan langkah yang tepat (David, 2002).

Reaksi kecemasan pada Odha sering kali mencakup rasa khawatir yang mendalam, ketakutan dan prihatin terhadap kesehatan, kemudian masalah yang terkait dengan kondisi tubuh, kematian, dan ketidakpastian mengenai penyakitnya. Reaksi ini kerap kali mengarah kepada sulit tidur dan berkonsentrasi dan meningkatnya keluhan fisik. Perwujudan penyakit kecemasan lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan selama pengobatan baru atau penyakit akut (Kirunda, 2007).


2. 4. Depresi

Depresi adalah penyakit suasana hati. Penyakit yang lebih dari sekadar kesedihan atau dukacita. Depresi adalah kesedihan atau dukacita yang lebih hebat dan bertahan terlalu lama. Ada berbagai penyebab depresi:

  1. peristiwa dalam kehidupan sehari-hari

  2. perubahan kimia dalam otak

  3. efek samping obat

  4. beberapa penyakit fisik (Kapplan dan Sadock’s, 2005)

Depresi paling sering ditemukan pada ODHA, terutama setelah adanya vonis dokter bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS. Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan penyulit psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian depresi yang pasti pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari yang ada di dalam masyarakat umum, yaitu sekitar 60 % dari total kasus depresi. Pada masyarakat umum hanya ditemukan sekitar 5-10 % kasus depresi. Diagnosis depresi bisa menjadi sulit pada Odha, seperti pada sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi berbagai cara tampaknya sama-sama efektif asal ahli psikiatri yang menilainya mengetahui perwujudan psikiatri dan somatik tertentu dari penyakit tersebut (David dan Brian, 2000).

Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan sosial dan kehidupan tertentu, seperti stigma (cap buruk), yang mungkin mempengaruhi seseorang menjadi depresi. Depresi pada Odha juga dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi. Namun, depresi, berbeda dengan kesedihan atau kecil hati, bukan merupakan dampak alami dari penyakit (David dan Brian, 2000).

Lamanya suasana hati yang lesu, kegelisahan, atau kemarahan mungkin biasanya menjadi bagian dari penyesuaian terhadap penyakit, tetapi perkembangan depresi yang parah bukanlah sesuatu yang normal. Sebagaimana diagnosis depresi parah dihubungkan dengan berbagai penyakit, suasana hati yang lesu harus dilihat sebagai bagian dari kumpulan gejala seperti rasa senang yang hilang, perasaan bersalah atau tidak berharga, memikirkan kematian, dan gejala kejiwaan yang parah (David dan Brian, 2000).

Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis, gejala fisik & sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif, mudah marah dan tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi dan menurunnya daya tahan. Namun yang perlu diingat, setiap orang mempunyai perbedaan yang mendasar, yang memungkinkan suatu peristiwa atau perilaku dihadapi secara berbeda dan memunculkan reaksi yang berbeda antara satu orang dengan yang lain. Gejala-gejala depresi ini bisa kita lihat dari tiga segi, yaitu gejala dilihat dari segi fisik, psikis dan sosial (Kapplan dan Sadoch, 2005).

Gejala Fisik pada depresi yang kelihatan ini mempunyai rentangan dan variasi yang luas sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami. Namun secara garis besar ada beberapa gejala fisik umum yang relatif mudah dideteksi. Gejala itu seperti : Gangguan pola tidur (sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit), Menurunnya tingkat aktivitas. Pada umumnya, orang yang mengalami depresi menunjukkan perilaku yang pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan orang lain seperti nonton TV, makan, tidur. Menurunnya efisiensi kerja, penyebabnya jelas. Orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan perhatian atau pikiran pada suatu hal, atau pekerjaan. Sehingga, mereka juga akan sulit memfokuskan energi pada hal-hal prioritas. Kebanyakan yang dilakukan justru hal-hal yang tidak efisien dan tidak berguna, seperti misalnya ngemil, melamun, merokok terus menerus, sering menelpon yang tak perlu. Yang jelas, orang yang terkena depresi akan terlihat dari metode kerjanya yang menjadi kurang terstruktur, sistematika kerjanya jadi kacau atau kerjanya jadi lamban. Menurunnya produktivitas kerja pada orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atau seluruh motivasi kerjanya. Sebabnya, ia tidak lagi bisa menikmati dan merasakan kepuasan atas apa yang dilakukannya. Ia sudah kehilangan minat dan motivasi untuk melakukan kegiatannya seperti semula. Oleh karena itu, keharusan untuk tetap beraktivitas membuatnya semakin kehilangan energi karena energi yang ada sudah banyak terpakai untuk mempertahankan diri agar tetap dapat berfungsi seperti biasanya. Mereka mudah sekali lelah, capai padahal belum melakukan aktivitas yang berarti (Glassman, 2006).

Pada orang yang mengalami depresi, Terjadi rasa mudah letih dan sakit. Jelas saja, depresi itu sendiri adalah perasaan negatif. Jika seseorang menyimpan perasaan negatif maka jelas akan membuat letih karena membebani pikiran dan perasaan dan ia harus memikulnya di mana saja dan kapan saja, suka tidak suka (Glassman, 2006).

Gejala Psikis pada saat depresi antara lain berupa khilangan rasa percaya diri. Penyebabnya, orang yang mengalami depresi cenderung memandang segala sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. Pasti mereka senang sekali membandingkan antara dirinya dengan orang lain. Orang lain dinilai lebih sukses, pandai, beruntung, kaya, lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih diperhatikan oleh atasan, dan pikiran negatif lainnya. Orang yang mengalami depresi senang sekali mengkaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Perasaannya sensitif sekali, sehingga sering peristiwa yang netral jadi dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka, bahkan disalahartikan. Akibatnya, mereka mudah tersinggung, mudah marah, perasa, curiga akan maksud orang lain (yang sebenarnya tidak ada apa-apa), mudah sedih, murung, dan lebih suka menyendiri. Merasa diri tidak berguna juga sering muncul pada orang yang mengalami depresi. Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang yang mengalami depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya menjadi beban bagi orang lain dan menyalahkan diri mereka atas situasi tersebut. Perasaan terbebani juga menjadi salah satu gejala depresi. Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang dialaminya. Mereka merasa terbeban berat karena merasa terlalu dibebani tanggung jawab yang berat (Niaura, 2005).

Gejala Sosial akan muncul pada depresi. Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya mempengaruhi lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas rutin lainnya). Lingkungan tentu akan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi tersebut yang pada umumnya negatif (mudah marah, tersinggung, menyendiri, sensitif, mudah letih, mudah sakit). Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya juga seperti perasaan minder, malu, cemas jika berada di antara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan (Ninan, 2007).


2.5. Pentingnya Konseling bagi Pasien Kejiwaan

Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Frank Parsons di tahun 1908 saat ia melakukan konseling karier. Selanjutnya juga diadopsi oleh Carl Rogers yang kemudian mengembangkan pendekatan terapi yang berpusat pada klien (Glassman, 2006).

Dibanding dengan psikoterapi, konseling lebih berurusan dengan klien yang mengalami masalah yang tidak terlalu berat sebagaimana halnya yang mengalami psikopatologi, skizofrenia, maupun kelainan kepribadian. Umumnya konseling berasal dari pendekatan humanistik dan client centered. Konselor juga berhubungan dengan permasalahan sosial, budaya, dan perkembangan selain permasalahan yang berkaitan dengan fisik, emosi, dan kelainan mental. Dalam hal ini, konseling melihat kliennya sebagai seseorang yang tidak mempunyai kelainan secara patologis. Konseling merupakan pertemuan antara konselor dengan kliennya yang memungkinkan terjadinya dialog dan bukannya pemberian terapi atau treatment. Konseling juga mendorong terjadinya penyelesaian masalah oleh diri klien sendiri (Leserman et al, 1999).

Penderita gangguan jiwa sering tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang melanda dirinya. Ia gelisah, cemas, tak bersemangat, terkadangtakut, ragu-ragu, tak percaya diri, tetapi ia sendiri tidak tahu persis apa sebenarnya yang menyebabkan keadaan-keadaan tersebut.

Kondisi depresi, stres, dan tak bisa menerima kenyataan dialami hampir setiap orang saat dirinya atau anggota keluarganya didiagnosa mengidap HIV/AIDS. Kondisi tersebut terjadi karena sampai saat ini masyarakat masih menganggap HIV/AIDS sebagai momok menyeramkan. Saat divonis sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), yang terbayang di benak mereka adalah kematian(Sherbourne , et al, 2007)

Keberadaan konselor sangat diperlukan pada kondisi kejiwaan Odha. Tugas utamanya adalah memberi dukungan emosional untuk membangkitkan semangat hidup ODHA. Dalam tugasnya, seorang konselor akan menerangkan secara rinci seluk beluk HIV/AIDS. Mulai dari definisi HIV/AIDS, pengaruhnya terhadap kesehatan, penyebab, proses penularan, pengobatan, serta sikap-sikap yang harus diterapkan dalam bergaul dengan keluarga maupun masyarakat luar. Bila ODHA memerlukan rawat inap, konselor juga akan memfasilitasi proses rawat inap tersebut. Bila kebetulan ODHA tersebut adalah seorang ibu hamil, konselor akan membantu ibu tersebut untuk melakukan tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak yang dikandungnya. Dan untuk ODHA anak-anak, konselor juga akan membantu menghubungkannya dengan spesialis anak-anak. Dengan penjelasan rinci mengenai HIV/AIDS, diharapkan persepsi-persepsi keliru mengenai HIV/AIDS pun dapat diluruskan. Termasuk persepsi bahwa penderita HIV/AIDS pasti segera berakhir dengan kematian (Ickovics et al, 2001)..

ODHA harus tahu bahwa seorang penderita HIV/AIDS pun dapat hidup dengan normal dan produktif. Demikian juga dengan keluarganya, keluarga harus bisa menerima ODHA dengan besar hati dan tidak melakukan diskriminasi terhadapnya Yudi dan Agustin mengakui, kadang tak mudah membangkitkan semangat hidup ODHA. Hal itu terjadi terutama pada ODHA yang secara kejiwaan lemah, tak bisa menerima kenyataan hidup (Ciesla et al, 2001).

Peran konselor dalam penanganan HIV/AIDS memang mutlak dibutuhkan. Kadang kondisi tidak memungkinkan dokter untuk memberi penjelasan detail. Tak jarang ODHA pula yang berkata, “dokter enak saja mengatakan itu, dokter kan tidak mengalami”. Di sinilah peran konselor diperlukan (Dilley et al, 2007)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar